20230111_185931
20230111_185931
Shadow
Berita  

Warisan Filsafat Islam Klasik Menjemput Kembali Makna Di Tengah Kegelisahan Modern

120x600
banner 468x60

Bangkalan, Delikjatim.com – Kemajuan zaman modern membawa manusia pada pencapaian luar biasa dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi. Dunia menjadi lebih cepat, lebih terhubung, dan tampak semakin rasional. Namun, di balik gemerlap kemajuan tersebut, muncul kegelisahan yang sulit diabaikan: krisis makna dan kekosongan batin. Manusia modern sering kali merasa lelah tanpa sebab, gelisah tanpa arah, dan kehilangan kedalaman dalam menjalani hidup. Dalam situasi inilah filsafat Islam klasik—khususnya yang berkembang pada masa pertengahan—hadir sebagai cermin kritis sekaligus sumber inspirasi spiritual.

Filsafat Islam klasik tumbuh dari kesadaran bahwa manusia tidak dapat dipahami hanya sebagai makhluk material atau rasional semata. Para pemikir seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd berangkat dari pandangan holistik tentang manusia: makhluk yang memiliki tubuh, akal, dan jiwa, serta tujuan hidup yang melampaui dunia fisik. Berbeda dengan kecenderungan modern yang sering memisahkan ilmu dari nilai dan spiritualitas, filsafat Islam klasik menempatkan pengetahuan dalam kerangka pencarian kebenaran dan kesempurnaan jiwa.

Salah satu problem utama modernitas adalah reduksi makna hidup. Hidup dinilai berhasil ketika seseorang mencapai standar tertentu yang ditentukan oleh sistem sosial: kekayaan, status, dan pengakuan. Akibatnya, manusia terjebak dalam perlombaan tanpa akhir. Filsafat Islam klasik mengkritik cara pandang ini dengan menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kepemilikan, melainkan pada kondisi jiwa. Al-Farabi menyebut kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia, yang hanya dapat dicapai melalui keselarasan antara akal, etika, dan orientasi spiritual.

Ibnu Sina memperdalam kritik tersebut melalui teori jiwa. Ia menegaskan bahwa jiwa manusia memiliki potensi untuk naik menuju kesempurnaan, tetapi potensi itu tidak akan tercapai jika manusia tenggelam dalam urusan material semata. Akal, dalam pandangannya, bukan alat untuk menguasai dunia saja, melainkan sarana untuk mengenal hakikat diri dan Tuhan. Dalam konteks modern, gagasan ini menjadi kritik tajam terhadap sistem yang memperlakukan manusia sebagai mesin produktif tanpa ruang untuk refleksi batin.

Krisis spiritual modern juga tampak dalam cara ilmu pengetahuan dikembangkan. Ilmu sering dipisahkan dari pertanyaan etis dan tujuan moral. Yang dianggap penting adalah efisiensi, manfaat praktis, dan keuntungan ekonomi. Al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu yang tidak membawa manusia pada kesadaran diri dan kedekatan dengan Tuhan justru dapat menjadi sumber kesesatan. Bagi Al-Ghazali, pengetahuan sejati harus melahirkan kebijaksanaan dan kerendahan hati, bukan kesombongan intelektual.

Selain itu, Al-Ghazali juga mengkritik praktik keagamaan yang kehilangan kedalaman makna. Agama yang hanya dijalankan sebagai rutinitas sosial tanpa keterlibatan hati justru memperparah kekeringan spiritual. Kritik ini relevan dengan kondisi modern, di mana agama sering terjebak antara formalisme kosong dan konflik identitas. Filsafat Islam klasik menegaskan bahwa spiritualitas sejati adalah proses transformasi batin, bukan sekadar simbol atau ritual lahiriah.

Ibnu Rusyd menawarkan perspektif lain yang tak kalah penting. Ia menolak pertentangan antara akal dan wahyu, dan menegaskan bahwa keduanya berasal dari sumber kebenaran yang sama. Dalam dunia modern yang terpolarisasi antara rasionalisme ekstrem dan religiusitas sempit, pemikiran Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa iman dan rasio dapat berjalan seiring. Spiritualitas yang matang justru membutuhkan akal yang jujur dan terbuka.

Dimensi etika juga menjadi perhatian utama filsafat Islam klasik. Modernitas sering mengukur kebenaran tindakan dari hasilnya semata. Jika menguntungkan, maka dianggap benar. Filsafat Islam klasik menolak relativisme semacam ini. Akhlak dipandang sebagai fondasi kehidupan manusia. Tanpa orientasi moral yang jelas, kemajuan apa pun akan kehilangan arah dan berpotensi merusak martabat manusia.

Dalam kehidupan sosial, krisis spiritual tercermin dalam meningkatnya individualisme dan keterasingan. Manusia modern terhubung secara digital, tetapi terputus secara emosional. Filsafat Islam klasik menekankan pentingnya kehidupan bersama yang adil dan bermakna. Kesempurnaan manusia tidak dapat dicapai dalam kesendirian, melainkan melalui relasi yang etis dengan sesama dan tanggung jawab sosial.

Penting untuk ditegaskan bahwa filsafat Islam klasik bukanlah penolakan terhadap modernitas. Ia tidak mengajak manusia mundur ke masa lalu, melainkan mengajak untuk menata kembali arah kemajuan. Sains dan teknologi tetap bernilai, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka tujuan hidup yang lebih luas. Modernitas membutuhkan spiritualitas agar tidak kehilangan makna, sementara spiritualitas membutuhkan rasionalitas agar tidak jatuh pada fanatisme.

Bagi masyarakat Muslim kontemporer, khususnya di Indonesia, warisan filsafat Islam klasik dapat menjadi sumber refleksi yang relevan. Di tengah arus globalisasi dan budaya instan, filsafat ini menawarkan keseimbangan antara kemajuan dan kedalaman, antara dunia dan nilai-nilai transenden. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia utuh berarti merawat akal sekaligus jiwa.

Akhirnya, krisis spiritual modern bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan krisis peradaban. Ia muncul ketika manusia melupakan tujuan terdalam dari keberadaannya. Filsafat Islam klasik mengingatkan bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal seberapa jauh manusia melangkah, tetapi ke mana arah langkah itu dituju. Di tengah dunia yang riuh dan tergesa-gesa, warisan pemikiran ini mengajak manusia untuk berhenti sejenak, merenung, dan kembali menemukan makna hidup yang hakiki.

banner 336x280
Penulis: RomliEditor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Artikel terproteksi !!